Perihal Jakarta,
Mimpi yang dikebiri juga nadi yang hampir mati,
Belum dosa yang kuamini terjadinya setiap pagi,
tapi bohong aku bangun siang.
Segala percakapan halu antara makan siang,
yang berakhir ketiduran yang kesekian,
sedangkan bacot ku katanya sedang mencari malam di nuzulul Quran.
Tai bukan?
Berlanjut ke Jakarta yang harus rela berkorban,
Bandung belum cukup dewasa tuk tanggung kesalahan kita di akhir pekan,
Berdalih atas segala harum tubuh yang mulai asing,
Tuhan akhirnya beri skak di Agustus yang paling bising,
sialnya beberapa kali dadanya terkadang masih busung.
Film sampai di credit namun cerita sama sekali tak ada gaung,
Jakarta dan Bandung akhirnya hanya berakhir peran pendukung.


Penyesalan mulai muncul di kata pengantar pulau Dewata,
Untuk apa dan ada apa?
Tanpa gairah di 27 Tahunnya,
Ambisi pun sudah tak setinggi pencakar langit,
Jiwa-Nya sudah diperkosa habis-habisan oleh keputusan Tuhan,
Dirinya bahkan tak ber Tuan untuk dirinya sendiri,
Hanya mulai dari 0 yang buatnya tetap berdiri,
Mengejar pinta Ayah di 30 nanti,
Tentang usaha keluarga dan seorang istri,
yang sialnya di buku khayal masih kamu yang akan salam di setiap Lebaran ke Ibu nanti.
Arghhhhh,
ada apalagi nanti?
Pertanyaan “untuk apa” muncul lebih banyak dari kedai-kedai berisi arak bali,
Mengapa rasanya lebih menyebalkan dari terjebak dalam saut-sautan klakson di Sudirman,
Seperti mencari letak tahi lalat di tubuh yang berbeda,
Pergi dengan pikiran orang-orang lama atas nama romantisasi penyokong mimpi,
tai Ji.
Pukul 2 pagi rasanya lebih berat dari jam kerja,
Ia basuh mukanya ke kamar mandi,
lalu tetesan air sisa di wajahnya tiba-tiba menjadi keringat dingin penghantar insomnia,
Ia tak sadar sekarang pukul lima,
Malah ketiduran dan berakhir kembali kehilangan status Agama,
dan kembali terbangun setelah mimpinya tenggelamkan Kota.
Ini adalah tragedi yang akan selalu tersimpan di jalan menuju pulang kostan, istirahat makan siang, dan akhir pekan di kamar sendirian.
Sekian.
Di bali tanpa “sampai kapan dan kapan sampai? “