Jika tiba-tiba banyak cahaya yang ingin masuki celahmu di jendela dan beri sedikit cahaya,
Juga angin-angin yg berlomba ingin kecup bibirmu yang dulu selalu ku minta rata,
Hingga nanti akhirnya pesisirmu lupa bagaimana kukecup jemari mu lewat ombak dengan sangat manja.
Maaf jika sesekali laut pribadiku mengharu biru,
Tak kuat tahan laju,
Dan kembali kirim pasang yang pernah sepakat saling perlu.
Takut kau lupa dan aku tak bisa luap dipaksa menjadi laut Merah yang kelu.
Coba tiru riak yang pernah berlalu,
Paksa ingat aku, kamu yang sudah dibatasi rambu-rambu.
Hingga nanti waktu ketuk palu,
Kita sama-sama menjadi bahasan dengan mereka orang-orang baru,
Yang belum tentu kembali ku kenalkan ke Ibu.
Setelah itu mungkin kita sama-sama berebut rasa cemburu,
Ingatan terus menderu,
Tentang semua asmaraloka juga cumbu,
Dan aku yang masih kamu,
Rasa yang masih dibelenggu,
Rindu yang seringkali terjemah keliru,
Tumpah yang tak akan pernah bisa ditiru.
Puan mohon jangan buntu,
Ini tulisan dari semua khayalanku,
Yang selalu dobrak beberapa pintu,
Karena sumpah Tuhan kama tak perlu kalimat yaitu,
Takut rasa berakhir piatu,
Ku tunggu kembali me lagu,
Di lirik yang rayu,
Di lagu nan ayu.
Aku butuh kamu.