Entah berapa kata yang sudah jadi kamu,
Berapa kalimat yang dikemas sambil melagu pilu,
Dan paragraf-paragraf yang jumawa serasa tak akan pernah diancam sungkawa.
Puisi sudah diberi nyawa,
entah nanti tetap ada “kita” atau halaman-halaman ini menjadi pulang yang tak punya rumah.
Masihkah puan merasa lahir tanpa mempunyai akta?
Atau haruskah aku kembali cari kosakata tuk buat mu benar-benar bernyawa di dalam setiap rimanya?
Tolong, aku hanya maba yang sedang ikut ospek dengan pita kuning sebagai tanda,
Mohon, aku penulis pengidap tuna aksara,
Aku teras yang penuh belukar dengan banyak benda dibalik yang menjalar, aku terasenja,
Yang selalu buta dalam merjemahkan dan berakhir di keranda.