di letak tahi lalat kita yang saling bercerita segala tentang “rahasia”.,
Juga urat di bawah mata kakimu yang selalu nampak saat tapak sulit temu sepakat,
Kita bukanlah tanaman yang dikubur tanpa pertanyaan juga berakhir belulang,
Semakin bingung saat rokok di meja tiba-tiba sisa satu batang,
Sebentar lagi, ia hilang,
Beli lagi untuk kesekian atau benar-benar bisa bernafas panjang.
Dan tentang segala kedai kopi yang kita kunjungi,
Mencoba berdamai bahwa katamu tuk sepakat tak perlu terikat,
Sayang nya saat jalan ku selalu menginjak tali,
Tersandung dan tersandung lagi,
Hingga nanti,
Ku siap berjalan tanpa alas kaki,
Dan tak mengeluh tentang langkah yang mulai gurat pola yang sedikit perih, sampai rasa mulai mati,
Dan tak ada keluh di tiap tiap bekas yang menjadi .
Cacing ditanah itu ancam siap kirim pertanyaan di aku yang akhirnya temu keabadian,
atau nadi yang kutitipkan di ikat rambutmu yang ditaruh ditangan kiri akan kembali berdetak tuk mati suri,
Jika tidak ada lagi lawan di igauanmu saat pagi,
Semoga selimut dan kasurmu mampu buat kau selalu cantik saat mata itu kembali temu sang rapsodi.
Karena kata Iyye “Kepergian tak pernah ingkar janji”.
Ku hanya nikmati beberapa hisapan lagi sebelum nanti kita rayakan kematian,
Saat cangkulan terkahir sampai, aku yakin elegi akan mampu bimbing mu hadapai kematianku dengan elegan,
Maaf tuk tanam yang sangka tak akan pernah gersang,
Selamat bersenang-senang,
sayang.